Minggu, 08 Januari 2012

Sungguh Ironi



Ironi Otonomi Daerah

Korupsi kini menjadi persoalan yang sangat serius bagi bangsa Indonesia. Bangsa ini pada tahun 1997 mengalami kebangkrutan ekonomi karena praktik korupsi yang sudah sangat parah. Dari presiden sampai pejabat paling rendah semua melakukan korupsi, dan semua dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Tak berlebihan bila almarhum Bung Hatta mengatakan, bahwa korupsi telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.
Reformasi politik tahun 1998 membawa harapan baru terhadap bangsa ini termasuk pemberantasan korupsi. Untuk memberantas korupsi yang sudah berurat berakar, dibuatlah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkali-kali disempurnakan. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut dibuat lembaga baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bisa ditafsirkan sebagai upaya melengkapi lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tetapi juga bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada, karena justru pada lembaga-lembaga penegakan hukun yang sudah ada itulah praktik korupsi tumbuh subur.
Keberadaan KPK yang sering disebut sebagai lembaga super body karena kewenangannya yang bisa melakukan apa saja telah membawa banyak “korban”. Dari mantan Menteri, Gubernur, anggota DPR, Bupati/Walikota, dan para pengusaha besar berhasil dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang sebelumnya sangat-sangat tidak mungkin terjadi. Sebuah surprise bagi sejarah pemberantasan peradaban-untuk pertama kalinya besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Aulia Pohan masuk penjara karena kasus korupsi saat ia menjabat sebagai salah satu Deputi di Bank Indonesia, melengkapi sekitar 500 pejabat publik Indonesia yag masuk penjara pasca Reformasi.
Walaupun banyak kritik yang ditujukan kepada KPK dengan mengatakan lembaga ini masih mempraktikkan kebijakan tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi, tetapi tetaplah KPK merupakan lembaga yang paling ditakuti oleh para perampok dan pencoleng uang negara serta uang publik. Itulah mengapa kesan yang kita anggap, saat berlangsung seleksi anggota KPK baru pada Desember 2007 lalu, aroma politik sangat terasa. Tak pelak, seleksi komisioner KPK menyedot perhatian banyak pihak. Bandingkan dengan seleksi komisioner-komisioner lain yang tidak begitu menyedot perhatian para aktivis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun media massa. Itu artinya, masyarakat masih sangat berharap agar KPK sungguh-sungguh memenuhi harapan masyarakat bisa membersihkan negeri ini dari tikus-tikus penggerogot harta negara yang membuat negara bangkrut dan rakyat terkapar dalam kubangan kemiskinan yang sangat dalam. Lalu yang menjadi pertanyaan, sebenarnya apa yang mendukung para tikus-tikus korup tersebut dapat dengan leluasa melakukan praktik permalingan uang negara???
Sebuah ironi yang mungkin tidak dibayangkan oleh para pemikir dan pejuang otonomi daerah (Otda), bahwa otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai strategi mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat ternyata justru telah menjadi ajang pemerataan tindak korupsi, atau pembudayaan korupsi yang jauh lebih meluas sampai ke simpul-simpul terkecil masyarakat kita. Otonomi daerah memang terbukti menjadi jalan mempercepat proses pembangunan dan pemerataan partisipasi masyarakat, tetapi dalam proses pembangunan tiba-tiba ada dana mengalir, kemudian membuka peluang terjadinya penyimpangan, penyelewengan hingga penjarahan terang-terangan oleh para penguasa daerah.
Melalui dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil, tiba-tiba pemerintah Kabupaten/Kota memiliki uang yang begitu besar tanpa mekanisme kontrol yang jelas, dan pada saat yang sama Bupati/Walikota dipilih melalui proses politik yang membutuhkan pendanaan besar sehingga peluang dan godaan untuk merayah dana tersebut menjadi sangat besar. Demokrasi juga membutakan aspke kualitas, siapapun bisa dpilih menjadi Bupati/Walikota sepanjang memperoleh suara terbanyak tidak peduli apakah ia tukang tipu, calo perkara, atau bekas preman. Pendidikan tidak menjadi ukuran karena ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) persamaan sekarang bisa diperoleh sambil tidur, bila perlu menggunakan ijazah palsu. Dengan latar belakang Bupati/walikota seperti itu, yang didukung dengan para anggota DPRD yang tidak jelas asal usulnya – apalagi jaminan moralnya- sekali lagi penjarahan uang rakyat atau harta negara menjadi sangat mudah terjadi. Perilaku Kepala Daerah beserta kroni-kroninya yang korup dan serakah, menjadi legitimasi bagi aparat di bawahnya untuk melakukan hal yang sama walaupun dalam kadar yang berbeda. Saya ingat betul kuliah dari almarhum Prof Dr. Riswanda Imawan yang mengatakan, orang sering lupa, bahwa demokrasi itu memang kuantitas, bukan kualitas, maka demokrasi sesungguhnya cara terbaik dari cara-cara terjelek dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pemilihan Bupati/Walikota membutuhkan biaya yang sangat besar bahkan kadang-kadang tidak rasional karena mencapai puluhan milyar rupiah yang sangat-sangat tidak sebanding dengan gaji Bupati/Walikota. Berapa gaji seorang Bupati? Tidak lebih dari Rp 6,5 juta per bulan. Penghasilan lain berasal dari honor-honor kepanitiaan, atau penanggung jawab proyek, atau Komisari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang jumlahnya sangat bisa dihitung dan tidak akan lebih dari Rp 50 juta per bulan. Kalau ada penghasilan lain-kalau bisa disebut sebagai penghasilan- adalah dana taktis atau dana operasional, yang berdasarkan ketentuan besarannya maksimal 1,5 % dari pendapatan asli daerah (PAD) , masih dibagi antara Bupati/Wakil Walikota, tetapi uang yang tidak perlu dipertanggung jawabkan penggunaannya ini tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan pengeluaran kepala daerah yang harus memberikan bantuan itu dan ini kepada berbagai kelompok atau individu yang dipandang perlu yang tidak bisa dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Review